Thursday, March 24, 2016

Sebelum Selamanya - Once upon a time








Tanganku masih sakit setelah meninju wajah songongmesumbego-nya Donni tadi. Siapa sangka wajah cantiknya itu punya rahang yang cukup kuat. Yah bukannya tidak sepadan sih, tapi mungkin akan lebih baik kalau tadi aku memukulnya dengan dahan kayu saja. Setidaknya aku tidak akan ikut menderita.
Mengeluarkan amplop tebal dari saku blazerku, aku kemudian mengeluarkan isinya. Aku lalu mulai menghitung sisa uang taruhan yang Donni menangkan karena berhasil berpacaran denganku lebih dari dua minggu. Karena biasanya aku hanya bisa mentolerir sikap pacar-pacarku selama dua minggu atau kurang, menurut para pria brengsek itu aku patut dijadikan sebagai objek taruhan. Yang mereka tidak tahu adalah aku mengetahui rencana mereka, jadi selama masa pacaranku dengan Donni akupun membuat hidupnya seperti neraka.
Satu, dua, tiga, empat, liii-- Ah sial. Si brengsek itu sudah menghabiskan tiga ratus ribu. Harusnya aku langsung merebutnya saja tadi pagi begitu uang ini dia terima. Ah sekarang aku meresa sakit pada tanganku jadi tidak sepadan. Harusnya tadi aku tendang testikalnya saja dengan lututku. Setidaknya itu bisa memberinya peringatan sebelum tangannya mulai grepe-grepe ke area yang terlarang.

Aku mencuci tanganku yang masih nyut-nyutan di westafel toilet. Kalau saja si Donni tidak pingsan, aku mungkin akan mematahkan bagian tubuhnya yang lain selain hidungnya saja. Ah nasib. Mengelap tangan basahku dengan tisu yang selalu kubawa di sakuku aku kemudian berjalan menuju pintu.
BRUK!
Great. Sekarang bukan hanya tanganku yang sakit, tapi pantatku juga. Lagian siapa sih yang membangun tembok di depan kamar mandi? Dan sejak kapan ada di sana? Perasaan tadi waktu masuk tidak ada.
Mendongakan kepala, bukan tembok yang aku temukan melainkan si Yeti a.k.a Jeha yang sedang memandang ke bawah ke arahnya dengan muka masamnya. Dia memicingkan matanya di balik kacamata besar nan jelek itu.
Aku mengulurkan tanganku ke arahnya. "Bantu gue bangun," kataku.
"Ngapain lo di sini?" ujarnya balik bertanya, mengabaikan perkataan dan tanganku yang terulur.
"Er... Buang air? Itu 'kan biasanya yang dilakukan seseorang kalau ke toilet?"
"Di toilet pria?" Salah satu alisnya naik, keluar dari balik frame hitam tebal kacamatanya itu.
"Toilet wanita penuh," aku menghendikan bahu, "jadi kenapa tidak." Aku memberi senyum termanisku padanya. "Ayo bantu gue berdiri," pintaku lagi sambil menggerak-gerakan tanganku ke arahnya.
Dia memandangku denga wajah datar dan tatapannta yang terbaca. "Bangun saja sendiri. Cacat juga ngga 'kan?"
Lalu, dengan kurang ajarnya dia melangkah di atas bahuku, melewatiku seperti layaknya aku hanya segunduk tanah penghalang langkahnya saja.
Ah dasar cowok rese.
Aku heran sekali padanya. Dia seperti punya alergi terhadapku. Dia tidak terpengaruh dengan apa yang aku tampilkan. Bukannya sombong atau apa, tapi aku cantik, punya great-hot-bod, pakaian yang tidak kalah saing dengan para hooker, plus baju sekolah yang kancing dua teratasnya tidak pernah aku kaitkan itu selalu bisa membuat para pria lupa di mana letak mataku. Para mesum itu biasanya lebih memilih bicara pada ujung behaku yang mengintip di balik kemejaku yang terbuka dari pada bericara pada wajahku. Tapi Jeha tidak. Cowok itu bukan hanya tidak tertarik dengan ujung behaku tapi dia juga sama sekali tidak tertarik dengan diriku sepenuhnya. Seperti yang aku bilang tadi, dia seperti punya alergi terhadapku.
Bangun dengan cepat ketika ada orang lain yang hendak masuk ke toilet, aku mengabaikan tatapan bingungnya dan berjalan menuju kelasku.
Aku melihat Luna melambaikan beberapa tangkai mawar merah dan secarik kertas di tangannya saat dia melihatku masuk. Aku mendekat dan merebut kedua benda itu dari tangannya. Sumpah tadi pagi ini tidak ada. Membaca tulisan yang di ketik oleh mesin tik tua, aku mengerutkan dahi.
I'm proud of you today. Good job.
Good job? Aku menghitung mawar di tangan kiriku. Sepuluh tangkai. Dia biasanya hanya mengirim satu dan dua kalau moodku sedang baik. Tapi kali ini ada sepuluh tangkai.
"Apa yang udah lo lakuin hari ini sampai membuatnya bangga?" teman sebangkuku bertanya.
Aku menghendikan bahu. "Entah. Bukan Mr. Roseman namanya kalau gampang ditebak."
Aku menyebutnya Mr. Roseman karena dia selalu mengirimiku mawar, walau tidak selalu merah, tapi bunga itu pasti mawar dan bukan yang lain. Mr. Roseman adalah orang yang rutin mengirimiku bunga dan puisi serta kata-kata penuh enigma yang terkadang aku tidak mengerti. Dia sudah melakukan ini sejak kelas sepuluh dan aku sekarang duduk di kelas 12 namun aku belum tahu siapa identitas aslinya . makanya ku sebut dia Mr. Roseman
Teman-temanku menyebutnya secret admirer, aku menyebutnya si creepy yang kurang kerjaan. Well, tidak selalu sih. Terkadang aku mensyukuri kedatangan mawar dan surat-suratnya ketika mereka datang bersamaan dengan surat-surat dari para mantannya mantan. Ibarat oase di hantaran gurun sahara kalau dibikin sok puitis. Bah.
Menuju meja guru, aku mengambil bunga palsu dari vas dan menggantinya dengan mawarku setelah aku isi vas itu dengan air terlebih dahulu lalu meletakan si bunga palsu di dalam lemari. Guru-guru tidak akan bertanya karena ini sudah biasa aku lakukan.