Sunday, May 29, 2016

Sebelum Selamanya - Divulgate


Divulgate: to make publicly known , publish.
××× ×××
Aku terbangun di ruangan yang serba putih dan nampak persis seperti rumah sakit. Perlu beberapa detik untuk mencerna sebelum aku ingat di mana ini. Mendapati setangkai mawar biru di dalam genggaman tanganku aku menghela nafas lalu meletakannya di atas meja.
Inilah sisi lain mengapa aku tidak terlalu menikmati punya secret-admirer semacam Mr. Roseman. Dia suka menyelipkan mawar-mawar di tempat yang tidak seharusnya dia akses, seperti lokerku di ruang ganti studio tari. Ini juga bukan pertama kalinya dia menyelinap dan meletakan mawar di dekatku saat aku tidur.
Suara berisik dari luar horden menarik perhatianku. Aku membuka tirai dan mendapati seorang pemuda yang sedang memilih-milih obat di lemari. Ketika dia menoleh aku tersenyum.
"Selamat pagi, Jelek."
"Nice try. Tapi gue ngga bakal balik nyapa lo dengan 'selamat pagi, cantik'. Lo lagi jelek sekarang," ujarnya tanpa melihatku.
Aku tersenyum. "Well, setidaknya lo pernah mengakui kalau gue cantik."
Dia memberiku tatapan hambar sebelum kembali mengamati botol obat di tangannya. Jeha mengembalikan botol obat di tangannya ke dalam lemari dan mengambil botol lainnya. Aku memiringkan tubuhku di tempat tidur untuk mengamatinya. Untuk ukuran seorang kutu buku badannya cukup bagus. Tegap, tinggi dan nampak cukup berotot ketika lengannya bergerak. Itu membuatku penasaran.
"Lo rajin pergi ke gym yah?"
Jeha menghela nafas. "Lagi, dengan pertanyaan konyol," gumamnya.
"Itu bukan pertanyaan konyol," sanggahku. "It's a curiousity's question. Karena untuk seorang kutu buku yang kerjaannya baca dan diam di perpustakkan, badanmu cukup bagus."
"Lo lupa kalau di perpustakaan ada kerjaan yang namanya mengangkat , meletakkan dan memindahkan buku-buku. Dan banyak bergerak itu membuat badan sehat," ujarnya. Dia mengganti botol di tangannya lagi.
"Ya. Tapi ngga mungkin sampai membuat badanmu muscular kayak atlet."
Aku bangun dari tempat tidur dan mendatanginya. "Nyari apa sih?" tanyaku.
"Pereda rasa sakit."
"Lo sakit? Apanya yang sakit?" tanyaku mengamati setiap jengkal wajah dan lengannya yang terlihat. Jeha yang menggeleng.
"Lo minum apa kalau sakit punggung atau kram waktu lagi mens?" tanyanya tanpa ragu.
Itu membuatku tertawa. Dia orang yang terang-terangan, aku sudah tahu itu. Tetapi tetap saja pertanyaan itu mengejutkanku.
"Lupakan lelucon pribadimu tentang gue yang bakal meminumnya." Dia melotot padaku.
Aku mengibaskan takan di depan wajahku. "Nggak, bukan itu. Hanya saja biasanya cowok bakal risih kalau bertanya soal begituan. Tapi lo sangat langsung," ujarku. Kemudian sesuatu menggangguku. "Buat pacar lo?
"Kalau gue bilang 'iya' , apa gue bakal diberitahu?"
"Nggak," jawabku tanpa berpikir.
Jeha memutar bola matan
"Terre!!!"
Shit.
Suara Kath ketika beteriak sangat mengganggu karena bisa didengar dalam radius 100km. Lebay yah gue? Sejak pagi dia sudah memaksaku untuk ikut ke event yang diadakan oleh kantor manajement tempat TLBs bernaung dalam rangka ulang tahun terbentuknya boyband tersebut. Aku sudah bilang tidak mau tapi Kath tetap akan menyeretku pada akhirnya. Aku segera menarik Jeha bersamaku ke bawah meja.
"Terre!!" seru Kath terdengar lebih dekat. "Nggak ada." Kath terus meneriaki namaku di sepanjang koridor.
"Kenapa gue harus ikut bersembunyi juga?" tanya Jeha sebal.
"Karena kalau Kath lihat lo, dia bakal nanya. Dan gue nggak yakin lo mau berbohong buat gue."
"Bener juga."
Jeha hampir berdiri ketika aku mendengar langkah kaki terburu-buru mendekat, jadi aku menariknya lagi ke bawah meja dengan keras sampai dia jatuh terduduk dan memberiku tatapan marah.
"Sorry," bisikku.
Terdengar suara pintu dibanting tertutup kemudian disusul suara desahan dan nafas tersenggal-sengal. Aku menutup mulutku untuk menahan tawa.
Sekolah ini bukan sekolah paling alim sedunia. Biasanya murid-murid di sini tidak perlu bersembunyi di ruangan tertutup kalau hanya untuk berciuman, kecuali mereka berencana untuk melakukan lebih dari itu. Aku melirik Jeha, dia hanya memutar bola matanya.
"Ayo kita kagetkan mereka," bisikku padanya. Kepala dan kakiku sudah keluar dari bawah meja ketika pasangan di luar itu mulai berbicara.
"Kita tidak bisa melakukan ini terus."
Aku kenal suara lembut namun serak itu. Aku menoleh pada Jeha yang sudah memandangku, dia juga tahu. Miss Celia, guru bahasa inggrisku dan seorang man-hater , setidaknya itu yang dia ikrarkan. Aku segera masuk kembali ke dalam persembunyianku, ingin tahu siapa partnernya.
"Kalau pihak sekolah tahu, aku akan di pecat," lanjut Miss Celia.
"The hell with them," kata si pria.
Aku terkesiap dan Jeha langsung menutup mulutku dengan tangannya.
Ryan, mantan pacarku tersayang yang paling baik, punya affair sama guru? Astaga. Seribu tahun pun aku tidak akan berpikir hal itu bisa terjadi. Aku pikir dia masih sayang dan tidak bisa melupakan aku karena setahun setelah kami putus, dia belum dekat dengan cewek lain. Tetapi ternyata... dia punya pacar rahasia. Si jutek Miss Celia pula.
"Kamu dengar itu?" tanya Miss Celia.
Sunyi. Bahkan aku berhenti bernafas.
"Nggak ada suara apapun," ujar Ryan sebelum melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda. Jeha melepaskan tangannya.
This is awkward.
Ini memang bukan pertama kalinya aku memergoki atau mendengar orang having-sex atau sekedar quickie tanpa sengaja, tapi sekarang jadi awkward karena ada cowok asing di sampingku.
Ugh! Suara aneh Miss Celia membuat telingaku sakit . Aku heran tidak ada orang diluar yang mengetuk pintu. Memang aku sudah menutup kedua telingaku dengan tangan, tapi tanganku bukan jenis soundproof jadi masih ada yang masuk. Aku melirik ke arah Jeha.
Dia sedang baca buku dengan tenang dan kedua telinganya ditutup dengan earphone. Jeha mendongak dan menjulurkan lidahnya padaku.
Sialan.
Mereka mengakhirinya dengan jeritan yang teredam . Ampun deh. Setelah itu mereka pergi tanpa mengatakan apapun lagi pada satu sama lain. Jeha segera keluar dari bawah meja dan aku mengikutinya. Kami jalan bersama menuju kelas di lantai tiga.
"Kenapa cemberut? Kecewa karena mereka selesai terlalu cepat?" Jeha menyeringai sambil membetulkan letak kaca matanya.
Aku melotot padanya. "Nggak. Gue malah berharap mereka selesai lebih cepat! Telingaku sakit dan pengen muntah!" Aku menghela nafas. "Tapi lebih pada kecewa karena partner Miss Celia ternyata bukan perempuan."
Jeha tertawa. Dan Wow, What a beautiful sound! Tapi dia segera berhenti ketika menyadari aku menatapnya kaget. Dia berdehem.
Aku memukul lengannya. "Dasar tidak punya jiwa penolong. Tidakkah terlintas di kepalamu untuk membagi misseryku?"
"Nggak."
Aku hendak memukulnya yang berada dua anak tangga di atasku, tapi aku terpeleset dan akhirnya justru mencengkeram lengannya dengan kedua tanganku agar aku tidak terjatuh. Jeha yang terkejut juga segera memegangi tanganku.
"Lo baik-baik aja?" tanyanya.
Jantungku masih berdetak terlalu cepat jadi aku mengatur nafasku untuk memperlambatnya sehingga aku hanya menjawab dengan anggukan saja.
"Jadi kabar itu benar?" Aku mendongak ketika mendengar suara itu, begitu juga Jeha.
Billy berdiri di anak tangga paling atas dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Mantan pacar paling posesif, mesum dan control freak. Ada api di matanya yang memandang ke bawah kepadaku.
"Gue nggak ngerti apa maksud lu," kataku.
"Lu pacaran sama si monster ini!" desisnya. "Gue udah ngomong baik-baik sama lu buat balikan lagi sama gue, dan lu malah sibuk sama sampah ini."
"Satu-satunya manusia yang bisa di sebut sampah di sini ya elo," sergahku. Beralih pada Jeha aku berkata, "Ayo pergi." Aku menarik lengannya agar mengikutiku..
"Terre!!" seru Billy.
Great. Koridor masih rame dan Billy akan membuat scene yang aku ogah untuk ikut berpartisipasi. Mana ada Donny and the geng pula.
Billy memegang lenganku. "Kamu cuma bersandiwara, iya kan? Biar gue cemburu." Ada senyum menjijikan pada mulutnya.
Ogah aku pacaran lagi sama cowok yang minta laporan kemana aku pergi setiap waktu.
Aku melepaskan tangan Billy dari lenganku dan melingkarkan tanganku pada Jeha. "Nggak. Gue emang pacaran sama dia kok. Jadi 'shuhh' jangan ganggu gue lagi." Sepanjang aku bertingkah, aku tidak berani melihat wajah Jeha.
"Hah! Lo nggak suka cowok jelek dan miskin kayak dia," kata Billy , melotot pada Jeha. "Lu turun standard?"
"Sebaliknya, Gue naikin standar. Dari cowok ganteng tajir dan ngga punya otak, beralih ke cowok keturunan adam biasa namun otaknya benar-benar ada di kepala."
"Lu cuma mau jauhin gue!" bentak Billy.
Satu-satunya tujuan Billy memojokkan ku di depan umum hanyalah untuk mempermalukanku. Dikiranya dengan dia melakukan ini aku akan segera meraih lengan dan memeluknya. Dia biasa mendapatkan apa yang dia inginkan, dan dia belum bisa menerima kenyataan bahwa dia tidak bisa mendapatkan aku dengan kepribadiannya yang seperti itu.
Spoiled brat!
"Nggak apa-apa kalau kamu mau bermain dulu dengannya, aku akan..." suaranya jadi lembut, tapi aku tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat itu.
Begitu kesalnya sampai aku tidak memikirkan bagaimana reaksi Jeha nanti. Aku langsung saja meraih tengkuknya, membawa kepalanya padaku dan menciumnya. Kali ini benar-benar ciuman, bukan sekedar bibir menempel pada bibir. Aku mendengar suara terkesiap dan bisik-bisik dari sekitarku.
Gila, nih cowok makannya apa sih? Tidak seperti kemarin yang rasa bibirnya adalah wine mahal, sekarang mulutnya berasa sesuatu yang membuatku lapar.
Aku melepaskan bibirnya. "Kamu makan apa tadi? Enak banget rasanya?" tanyaku. Tapi Jeha tidak menjawab, dia sibuk melotot padaku.
Aku menoleh pada Billy yang mulutnya terbuka. "Close your mouth. Fly might go inside." Billy menutup mulutnya. "See? I'm dead serious."
Aku menyeret Jeha pergi dari sana . Tapi hanya beberapa langkah sebelum akhirnya dia yang mengambil alih menyeretku lalu membawaku ke ruang lab kemudian menutup pintunya. Tanpa buang-buang waktu dia langsung mencekikku. Bukan benar-benar mencekik, hanya melingkarkan kesepuluh jarinya di leherku.
"Sudah gue bilang jangan lakukan itu lagi," geramnya. Aku sih malah tertawa karena jarinya mengusap bagian sensitif di belakang telingaku. "Oh ? Lu nganggep ini lucu?" Dia mempererat 'cekikan' tangannya , tapi itu justru mengundang tawaku lebih keras.
"Terre!!" bentak Jeha. Dia melepaskan tangannya dari leherku.
Ini pertama kalinya aku mendengar dia memanggil namaku, dan aku ingin mendengarnya lagi. Aku berhenti tertawa namun tidak sepenuhnya. "Okay. Maaf. Tapi jarimu menggelitikku."
Jeha memutar bola matanya. "Gue nggak mau kejadian itu terulang lagi, dengar nggak?!"
"Huh? Kejadian apa?"
"Kiss me out of the blue!"
"Baiklah. Lain kali gue bakal ngomong dulu ke elo, jadi lo bisa ikut berpartisipasi," kataku sambil mengangguk. "I'm going to kiss you right now."
Lagi, tanpa memberi Jeha kesempatan untuk menolak aku melingkarkan kedua tanganku di lehernya dan menikmati rasa mulutnya. Kedua tangannya mencengkeram pinggangku dan kepalanya berusaha menjauh tapi aku menekannya lebih kuat. Bagaimanapun leher tidak lebih kuat dari tangan, jadi dia tidak bisa berbuat banyak.
Kejam banget ya gue.
Tangannya naik ke bahuku lalu mendorongku dengan kasar, membuatnya terbebas.
"Bukan itu maksud gue!" bentaknya dengan tatapan you-pissed-me-off-go-die. Dia menyingkirkanku dari pintu lalu keluar tepat ketika bel berbunyi.
×÷×÷×
Entah sekolahku berubah menjadi sekolah militer atau salah satu guru favorit disini meninggal.
Okay, that's totally not a funny joke.
Tapi serius deh, ada apa sih sama orang-orang? Sejak aku sampai di sekolah, hampir setiap cewek yang kutemui itu pasti matanya basah dan tidak sedikit juga yang terang-terangan menangis tersedu-sedu. Masuk ke kelaspun tidak jauh beda, apalagi tangisan Kath lebih kencang dari pada saat anjingnua mati.
"Ada apa sih?" tanyaku begitu sampai di mejaku. Bukan hanya Kath yang terlihat menyedihkan, yang lain juga nampak sedang dalam suasana seperti berduka. "Lagi pada berpartisipasi dalam lomba nangis atau semacamnya yah?" tanyaku lagi sat tak ada juga yang menjawab.
Seruan tangis Kath semakin kencang. Luna yang sedang menenangkannya menegurku dengan tatapannya saja. Aku menghendikan bahu cuek sebelum duduk. Tidak mungkin mendapat jawaban dari Kath, akupun bertanya pada dua orang yang juga terlihat sedang berduka namun tidak terlalu emosional, Vall dan Ro.
"Ada apaan sih?"
Val menyerahkan sebuah tabloid gossip.
Aku membaca headline majalah itu: J.H , The Boy That No Longer Lost, lalu foto J.H dengan senyum kecilnya menjadi background judul itu. Aku membuka halaman selanjutnya dan mulai membaca penyebab fenomena tangis masal ini.
Setelah lima tahun bersama , J.H akhirnya memutuskan untuk 'bercerai' dengan kakak-kakaknya di TLBs. Selain kontrak dengan agensinya yang telah habis dia menyatakan ingin berkonsentrasi pada sekolah dan masuk universitas . Pada gathering ulang tahun TLBs kemarin-
Aku berhenti membaca dan melemparkan tabloid itu ke atas meja."Yailah. Cuma gini doank pada nangis. Kirain ada yang mati. "
Kath menjerit dalam tangisnya dan langsung memeluk tabloid itu lalu memandangku tajam. Ampun deh. "Nggak pernah ada yang bilang yah kalau lo itu cewek yang sangat ngga punya perasaan?"
"Pernah dengar beberapa kali," ujarku , mengangkat bahu.
"Well, change that!!" bentaknya sebelum kembali menangis dan mengusap-usap foto pada cover tabloid itu kemudian memeluknya. Fans sejati atau lebay?
Bel pertama berbunyi. Aku segera duduk di bangkuku lalu menggeram kesal tidak tahan lama-lama berhadapan dengan orang yang kelewat emosional hanya karna seseorang keluar dari band. Bel masuk berbunyi dan Kath masih dalam keadaannya yang lebih nampak seperti mental breakdown.
"Stop crying!" seruku kesal . Karena semua murid sudah masuk kedalam kelas , kini bukan lagi hanya Kath yang menangis.
Luna menyenggol lenganku. "Biarin aja napa sih?"
Aku memutar bola mataku. "Biarin dari Hongkong? Suara tangisan mereka bikin telinga gue sakit."
"Gue pikir lo orang yang bakal paling diuntungkan dalam hal ini," kata Luna. Aku memandangnya bertanya. "Orang-orang berhenti membicarakanmu dan Jeha , serta kedepannya lo nggak akan mengeluh mengenai celotehan 24jamnya Kath soal TLBs."
Hm. Kalau dipikir-pikir Luna ada benernya juga. Berdoa saja semoga besok semua jenis reaksi berlebihan itu berakhir.
"Hey Kath!" Kath menoleh. "Kalau elo berhenti nangis, gue kasih poster jumbonya EXO."
Kath mengusap hidung dan air matanya. "Kedua belas anggotanya ada disana?" Aku mengangguk. "Seberapa jumbo?"
Aku mengingat-ingat berapa ukuran yang tertera dalam brosur bonus dari pakaian yang ku beli. "Hmm... Seukuran single bed kayaknya."
Dia memandangku curiga. "Bohong, kan?"
"Nggak mau ya udah. Sana lanjutin nangisnya. Nanti posternya gue buang atau bakar sekalian," ujarku. Kath segera memasukkan tabloid ke dalam tasnya dan menghapus semua sisa-sisa air mata pada wajahnya sebelum mengeluarkan tas kosmetik dan memperbaiki riasan di wajahnya.
Fans fanatik semacam Kath itu sebenarnya gampang ditangani. Sodorkan saja barang berbau bias mereka dan mereka akan menurutimu. Aku tersenyum pada Luna.
"Dari mana juga kamu dapat poster segede single bed?" tanyanya sambil tersenyum.
"Oh. Ada butik baru buka yang barangnya diimpor dari kota-kota fashion dunia, termasuk korea. Gue beli sebuah coat fancy dan dapat poster. Absurb, I know," ujarku. Hadiah sebenarnya adalah sebuah tas tangan mungil tapi kehabisan, jadi mereka memberiku poster sebagai gantinya. "Gue tahu poster itu bakal berguna, jadi nggak gue buang walau awalnya sudah masuk tong sampah sih."
"Dasar."
↽---⇁
Jeha sedang duduk di bangku di sudut taman sekolah saat aku menemukannya.
"Hey boyfriend," sapaku dengan senyum yang biasanya membuat cowok lain gemetar.
"Gue ngga pernah jadi cowok lo dan ngga akan pernah. Get lost. Leave me alone," ujarnya tanpa mendongak dari buku dihadapannya.
"Erm.. Ngga ah. Lo terlalu asyik untuk diganggu," kataku, menggeser kursi di depannya lalu duduk disana. Jeha mendongak dan memandangku dengan tajam, namun aku hanya tersenyum lebar.
"Baca buku apa?" Aku bertanya sambil membalik buku di tangannya sampai terlihat sampulnya. Jeha yang merasa terganggu segera menangkis tanganku. "Ooh Stephen King. Kadang gue pengen baca bukunya, tapi baru beberapa halaman udah malas."
"I bet," gumam Jeha. Aku mencibir padanya.
Angin menerpa kepalaku dari belakang, membuat rambutku terbang kedepan semua. Pada saat-saat seperti inilah aku membenci diriku sendiri karena lupa membawa kunciran rambut atau sekedar karet. Mungkin harus ku potong rambut ini.
"Apa yang lo bawa, Sadako?"
Aku menyingkirkan rambutku agar aku bisa melihatnya. Dia sedang mengendus udara. "Coba tebak apa? Kalau benr gue bakal pergi dari hadapan lo," kataku. "Gue bukan Sadako, rambut dia lebih panjang dan juga gue jelas lebih cantik dari dia."
Jeha mendengus lalu memandangku curiga. "Janji bakal pergi dari sini?" Aku mengangguk. "Nyatakan dengan perkataan. Biar gue rekam jadi lo ngga bisa menyangkalnya nanti." Dia mengeluarkan ponselnya dan menunjukan layarnya yang sedang mode merekam kepadaku.
Astaga. Orang ini-
"Ayo ucapkan," desaknya.
"Okai." Aku menghela nafas. "Gue janji kalau Jeha bisa menebak apa yang gue bawa, gue nggak bakal pergi dari sini." Dia melotot padaku.
"Maksudnya, gue bakal pergi dari sini kalau Jeha bisa menebaknya dalam waktu 5 menit." Aku tersenyum lebar. Nggak mungkin dia bisa menebaknya.
Setelah menyimpan rekamannya dia meletakkan ponselnya di atas meja. Lalu dia mulai mengendus udara lagi. Tidak mungkin dengan hanya dengan mencium aromanya dia bisa tahu. Cowok kan cenderung tidak bisa memisahkan aroma bahan tertentu kalau sudah dicampur, buakan hanya cowok sih tapi kebanyakan manusia. Malah kebanyakan kasusnya bukan lagi 'cenderung' melainkan tidak tahu apapun tentang aroma bahan satu persatu. Yang mereka tahu adalah aroma yang lezat dan menggiurkan lalu melahap habis apa yang disodorkan pada mereka.
"Something with milk, butter, cinnamon..." gumamnya.
Oh shit! Sepertinya dia tidak masuk dalam kebanyakan kasus.
"Vanilla, eggs..."
Omygod!
Dia menyeringai saat melihat wajahku yang pasti mencerminkan keterkejutan.
"Hm... Pancake?"
Aku menggeleng sambil tersenyum. "Masa pancake pake kayu manis."
"Mungkin lo sedang berimprovisasi?" Aku menggeleng lagi. "Bolu?"
"Nope. Two more minutes," ucapku memperingatkannya. Sisa waktu itu dia gunakkan untuk menyebutkan berbagai nama makanan yang mempunyai bahan-bahan itu. Wajahnya mulai menunjukkan kepanikan, keningnya berkerut, dan bibirnya digigit.
Melihat mulutnya mengingatkanku akan kejadian kemarin dan rasanya. Itu membuatku penasaran, apa rasa mulutnya hari ini?
"Stop staring at my mouth," tegur Jeha.
Aku tersenyum padanya. Meletakan daguku pada tangan di atas meja dan memandang mulutnya lebih serius. "Can I kiss you again?"
"Go to hell," ujarnya.
Aku menghela nafas berlebihan. "Waktumu tinggal 20 detik lagi," aku memperingatkannya.
"Then stop distracting me!"
Aku tersenyum lebar. Jeha menggeram kesal sebelum melanjutkan menebak apa yang ku bawa. Aku kagum dia mengetahui banyak makanan lalu menggumamkan kekurangan dari makanan itu.
"5 seconds." Dia menyebutkannya semakin cepat. "4.... 3....2.....1! Time's up!" seruku. Aku meletakkan apa yang kubawa diatas meja.
"Bread pudding." Jeha manghela nafasnya. Lagi, dia mengejutkanku. "Should've know," tambahnya, bergumam.
"Hey, Don't be so sad. Lo udah cukup membuat gue terkesan dengan pengetahuan lo tentang bahan-bahan makanan. Nggak banyak orang yang bisa melakukannya," ujarku. Aku menyerahkan sendok padanya, tapi dia memandangku dengan curiga. "Ngga beracun. Kalau itu yang lo cemasin." Dia ragu-ragu saat mengambil sendok itu dari tanganku.
"Masih hangat."
"Pelajaran memasak tadi bahan utamanya adalah makanan sisa," ujarku lalu tertawa melihat tangannya mematung di depan mulut yang terbuka. "Jangan khawatir. Makanan sisa punyaku adalah donat yang ku beli semalam. Go on, put that food in your mouth."
Dan dia menurutinya, berhenti sejenak sebelum mengunyah beberapa kali kemudian menelannya. Sepanjang waktu aku terus saja memperhatikan ekspresi wajahnya , membuatku kecewa karena tidak berubah sedikitpun. Dia mendongak, melihatku yang sedang memperhatikannya dengan seksama ditengah-tengah proses mengunyah.
"Apa? Lo berharap gue mengomentari masakan lo?" tanyanya.
"Tentu saja iya."
Dia mengangkat bahu. "Lumayan."
Aku terkesiap. "Lumayan? Unbeliveble!" seruku sambil mengangkat kedua tanganku ke udara.
"Apa? Haruskah gue bilang nggak enak?" ujarnya polos.
"Yang benar saja! Orang-orang, termasuk Bu Nanik bilang pudding rotiku adalah yang terbaik dan terenak seIndonesia," ujarku berlebihan. "Dan lu cuma bilang 'lumayan'? Gah!"
Dia memnghendikan bahu. "Gue punya selera yang tinggi tentang makanan." Dia menyeringai padaku.
Sementara Jeha makan, aku meminjam bukunya. Buku Stephen King yang ini hanya pernah ku baca dua halaman awal dan langsung nyerah. Karena masih penasaran ,aku pergi ke bioskop untuk nonton filmnya saat sudah keluar sebagai gantinya.
Sedang asik-asik membaca dan mulai timbul rasa ibaku untuk Carrie yang menurutku terlalu polos dan bodoh diusia 17 tahun (masa iya dia nggak tahu menahu soal menstruasi), tiba-tiba terdengar lagi seruan tangis yang kini sudah membuatku muak. Ampun yah, mereka tidak capek yah menangis dari pagi? Oh mungkin tidak sedikit juga yang menangis sejak acara gathering itu. Aku kira dengan berbunyinya bel pulang, sekolah akan dikosongkan dari para gadis emisional ini.
"Oh God!" aku menggeram kesal.
"Jangan dibaca kalau Stephen King terlalu berat. Gue nggak mau bertanggung jawab kalau kepala lo pecah," ujarnya sambil menyeringai.
"Bukan soal bukunya, tapi mereka." Aku menunjuk sekumpulan cewek di dekat air mancur dan juga yang ada di sepanjang koridor, mereka saling berpelukan dan menenangkan satu sama lainnya.
"Apa masalahnya dengan mereka?"
"Apa lo tahu kenapa mereka menangis?" Jeha menggeleng. "Mereka menangis hanya karna salah satu anggota Teletabis keluar."
Jeha terbatuk, sepertinya dia tersedak. Sayang, aku tidak membawa minuman.
"Teletabis?" tanyanya dengan ekspresi aneh, seperti baru saja mendengar aku mengucapkan suku kata baru.
Aku mengangguk. "Teletabis, telebes, TLBs, The lost boys. Sama aja." Jeha menggelengkan kepalanya sembari memandangku seolah aku aneh dan menjijikan. "Apa? Ini negara bebas. Kita punya hak mengeluarkan pendapat."
"Gue nggak melarang lo mengeluarkan pendapat. Dan kayak lo yang bebas ngomong, mereka juga bebas dong mengeluarkan kesedihan mereka."
Sekarang giliranku yang memberikannya ekspresi aneh dan tidak percaya tapi kemudian memandangnya curiga. "Jangan-jangan lo ngefans juga yah sama telebes?"
"Ini negara bebas. Kita punya hak mengeluarkan pendapat."
Aku memutar bola mataku, tidak ada yang lebih mengebalkan dari pada dilempari kata-katamu sendiri. "Tapi bukankah kita juga mempunyai hak mendapat ketenangan? Dan reaksi mereka sekarang sangat-sangat mengusik ketenangan. Cuma keluar dari grub aja ditangisi. Dia bukannya akan pensiun dari musik atau mati , bukan?"
Jeha menggeleng. "It's called loyalty."
"No. It's called obsession," sangkalku. "Don't you ever heard that obsession is a killer?"
"Hm.. I believe I do. From The Following, isn't it?"
Aku nyengir. Kemudian menatap kembali mereka yang sedang bersedih. "Mengherankan bagaimana mereka bisa bereaksi berlebihan begitu. Gampang banget mengeluarkan air mata," gumamku pada diri sendiri.
Seperti yang Kath bilang, aku bukan cewek yang sensitif. Aku tidak gampang menangis. Aku tidak menangis saat aku dibully di TK sampai SD. Aku tidak menangis saat ibuku mabuk dan aku terlihat seperti karung pasir olehnya. Aku tidak menangis saat ibuku meninggalkan rumah dan tidak pernah kembali saat usiaku 5 tahun. Aku bertahan dua minggu sampai akhirnya seorang tetangga sadar bahwa seorang anak berumur belum genap lima tahun tinggal di rumah sendirian dalam gelap karena sudah berbulan-bulan tidak membayar tagihan listrik.
"Yang lebih mengherankan adalah lo yang ngga bereaksi seperti mereka," kata Jeha membangunkanku dari lamunan.
"Itu karena gue nggak ngefans sama mereka."
"Kenapa? Seorang antis kalau begitu?"
Aku memutar bola mataku. "Kenapa sih orang selalu beranggapan kalau gue seorang antis hanya karena gue ngga ngefans sama mereka?"
"Reaksimu itu penyebabnya," ujar Jeha.
"Reaksiku? Reaksiku bukan reaksi seorang antis. Ini reaksi orang normal yang biasa aja. I'm not an antis nor a fans." Tepat setelah ngomong begitu , handphone ku berbunyi dan sialnya itu lagu milik Telebes yang jadi ringtonenya.
Jeha tertawa kecil. "Yakin bukan fans?" sindirnya geli. "Serius kalau lo mau ikut nangis , lakukan saja. Nggak perlu malu," katanya sambil menyeringai.
Aku melotot padanya sebelum menekan tombol jawab. "Kalau nggak penting, gue bunuh lu," sergahku langsung pada si penelpon.
Yang di sana malah tertawa. "Kenapa? Lu ditengah-tengah hot make-out session atau lagi duduk di wc?"
"Bukan dua-duanya. Gue di tengah perdebatan dengan orang yang pinter ngelempar balik perkataan gue dan susah digoda," jawabku , melirik Jeha yang sedang tersenyum kecil namun menyebalkan. "Ada apa?"
Raja menghela nafas berlebihan. Terdengar suara berisik kendaraan. "Nenek sihir nyuruh gue ke Sing."
"Wuah, so you call me to come with you?" tanyaku dengan antusias. Aku sudah tahu jawabannya tapi tetap saja...
"Ha ha. Terakhir lu bilang ke gue, passport lu udah kadaluarsa." Aku berdecak. "Mobil ada di rumah. Kuncinya gue taruh di tempat biasa."
"Great. Berapa hari lu disana?"
"Seminggu atau lebih , mungkin."
"Bawain gue oleh-oleh yah."
"Nanti gue bawain gantungan kunci singa." Sebelum aku protes, Raja menutup telponnya.
" Your boyfriend?" tanya Jeha.
"Was it you who just call me?" Jeha memutar bola matanya. "Dan gue bukan teletabis fans."
"Whatever you say," ujarnya sambil geleng-geleng kepala.
"It's true! Hanya karena gue punya lagu mereka di dalam playlist gue, bukan berarti gue suka sama yang nyanyi," kataku membela diri. "Gue nggak suka sama Miley Cyrus, Taylor Swift, atau Cris Brown. Tapi gue punya Wrecking ball, Red dan beberapa lagunya Cris brown. Gue cuma suka sama beberapa musik mereka. Gue nggak suka sama orangnya," ujarku panjang lebar.
"Seperti yang gue bilang, 'terserah apa kata lo'."
"Ya. Tapi gue menolak dipikirkan sebagai fan telebes." Aku melirik lagi kesekitarku. Bel pulang sudah berbunyi lebih dari setengah jam yang lalu, tapi masih rame ajah.
"Oh ya? Kalau begitu kamu lebih suka dipikirkan sebagai fans siapa? Super Junior, EXO , Justin bieber atau One Direction?" Dia menyeringai lagi.
Aku menggeleng. "Bukan semuanya. Gue bukan orang yang suka ikut-ikutan menjadi fans seseorang atau suatu grup hanya hanya karena mereka sedang booming."
"Oh ya? Lo ngefans sama siapa?"
"Lebih tepatnya mengidolakan. Karena kata 'fans' itu kayaknya berlebihan banget buat gue."
"Ya ya whatever. Jawab pertanyaanku."
Dengan pandangan menerawang aku menjawab, "NKOTBSB, N'SYNC, Bruno Mars or Linking Park. I will do everything for you if you give me a ticket to their concert."
Kedua alisnya terangkat ke atas sampai tak lagi terlihat karena terhalangi rsmbutnya yang berantakan ke depan wajahnya itu. "Apa itu kodemu mengajak berhubungan sex?"
Ouch.
Aku tahu semua orang menganggapku murahan dan hobi tidur sana-sini dengan banyak pria . Tetapi saat orang seperti Jeha mengatakannya langsung didepan wajahku, rasanya seperti ditampar dengan kursi.
"I'm so sorry, I didn't mean to..."
Melihatnya salah tingkah dan dia benar-benar merasa menyesal membuatku justru ingin mengerjainya.
"Nope. That's not my code if I ask someone to have sex with me," ujarku memotongnya. Aku naik ke atas meja dan merangkak ke arahnya. Dahinya berkerut.
"What are you doing?"
Aku terus merangkak ke arahnya, menatap matanya sepanjang waktu sampai wajahku hanya tinggal beberapa senti dari wajahnya. Tentu saja aku yang merangkak , otomatis membuat kemejaku lebih terbuka dan sumpah dia bisa langsung melihat apa yang tersembunyi didalamnya kalau dia menurunkan sedikit pandangannya.
"This is how I ask someone to have sex with me," bisikku.
Aku menangkup sisi kepalanya dan aku membawa bibirku ke bibirnya namun tidak benar-benar menciumnya. Bibirku nyaris tidak menyentuhnya, hanya melayang di atasnya dan membuatnya merasakan hembusan nafasku saja saat aku berbicara.
"So?" tanyaku menatap kedalam matanya yang memandangku tajam dibalik lensa tebal kacamata jelek itu.
Kedua tangannya meraih kerah bajuku dan menarikku, menciumku. Aku tersenyum dan membalas ciumannya. Ternyata dia tidak setangguh dugaanku.
Ketika akhirnya dia melepaskanku, dia tersenyum. Dan sambil menyentuh tulang selangkaku dia berkata, "Sorry, but I must declined your offer."
Aku bingung harus merasa tersinggung atau lega. Tetapi lebih dari semua itu, aku ingin tertawa saat melihat kemejaku sudah terkancing semua hingga ke kancing paling atas yang membuatku terlihat cupu. Aku hendak membalasnya saat seseorang berteriak.
"Terre!"
Kalau aku tidak mengenal suara itu dengan baik, aku akan menduga bahwa guru memergokiku. Aku menoleh dan menemukan Adam dengan wajah merah padam layaknya banteng ditengah arena rodeo berjalan dengan cepat kearahku. Tiga teman satu gengnya mengikuti dia tidak jauh di belakang.
"Adam." Masih diatas meja, aku segera duduk disana.
"What the hell do you think you're doing?!" desisnya.
"Messing around? Playing games with him," jawabku, menunjuk Jeha.
"To me, it looks like you're hooking up with him.."
"No, I -"
"Berapa kali gue bilang? Hentikan sikap lo yang mirip street hooker itu? Membuat jelek nama keluarga saja!" Setelah melotot padaku dia langsung pergi.
"Jealous ex-boyfriend?" tanya Jeha. Aku menoleh padanya dan mendapati dia sedang mengamati punggung Adam yang semakin menjauh dengan dahi berkerut.
"Angry-pissed-off step-brother actually." Jeha menoleh kearahku dengan sangat cepat, membuatku penasaran lehernya tidak terpelintir.
"He's your step-brother?" Dia menanyakan itu seperti menanyakan tentang Pak Asmuri berganti kelamin. Aku mengangguk. Dia memandangku kemudian memandang Adam yang sudah tak terlihat lagi, kemudian memandangku lagi. "Seharusnya gue nggak terkejut. Terlihat darah menyebalkan mengalir dalam tubuh kalian. He's so mean."
"Ah iya. Dia dan gengnya ngebully elu ya? Maaf atas namanya."
Jeha mengangkat bahunya kemudian berdiri. Memasukkan hapenya ke dalam saku dan meletakkan tempat bekas puding di atas pangkuanku. Merasakan tatapan mataku padanya sepanjang waktu, dia kemudian mendongak.
"Apa?"
"Sedang menarik kesimpulan yang seharusnya sudah gue duga."
"Kesimpulan soal?"
"Kesimpulan bahwa elu tipe pria kolot yang tidak akan berhubungan sex sebelum malam pernikahan."
Dia mengangkat sebelah alisnya. "Bukan," ujarnya. Dia lalu mencondongkan tubuhnya sampai wajahnya selevel dan tepat berada di depan wajahku.
"Gue jenis pria yang lebih memilih kata 'making love' dari pada 'having sex'. Dan..." dia melirik kesekitarnya "gue lebih memilih melakukannya di tempat pribadi. Gue bukan penggemar berat PDA," tambahnya dengan berbisik.
Dia menegakkan tubuhnya. Kemudian sambil terus menyeringai dia pergi, meninggalkanku yang terbengong.
"Thanks for the pudding!" serunya.
Astaga.
Rencananya aku bisa membuatnya luluh dan speechless sampai dia lupa sedang berada dimana. Alih-alih berhasil, justru dia yang membuatku begitu.
Gah! Unbelieveble!!!

Sebelum Selamanya - Space Invation

Seseorang merebut buku dari tanganku. Aku mendongak dan mendapati Ryan, dengan ekspresi muram di wajahnya, memandangku dengan bertanya-tanya.
Ryan adalah salah satu mantan yang masih berhubungan baik denganku. Dia typical cowok baik-baik idaman orang tua untuk dijadikan menantu. Mantan ketua OSIS, sangat baik, ramah, sopan dan penyayang. Aneh , justru itulah yang menjadi alasanku untuk putus dengannya. Padahal kalau yang lain pasti bersyukur yah punya pacar seperti dia.
Bukan apa-apa, tapi dia terlalu baik untukku. Dan aku bukan tipe cewek penggemar cowok baik-baik. Aku memberi pengertian itu padanya dan sejak itu kami jadi teman.
"Ryan, waddup?" sapaku sambil berusaha merebut kembali bukuku.
Ryan melepas headphone dari telinga kiriku. "I heard," katanya dengan dahi berkerut.
"So I read," balasku sambil merebut buku darinya kemudian berjalan melewatinya. Lima menit lagi bel akan berbunyi dan aku harus segera ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam dua minggu lalu.
Ryan mengikutiku. "Ada yang melaporkan lo ke Kepsek," ujarnya cemas dan itu membuatku berhenti. Aku memutar badan sampai menghadapnya.
"You're kidding," kataku tidak percaya.
"No," kata Ryan dengan pasti. "Kepsek mau ngomong sama lo pas istirahat nanti."
Hal lain tentang Ryan yang membuatku heran adalah entah kenapa dia selalu mengabariku berita yang tidak enak didengar, lalu dia begitu menyebalkan kalau overprotective-bigbrother sindromnya sedang kambuh.
Aku menggeram kesal. Aku mulai menyesal hanya mematahkan hidung Donni. Harusnya sekalian ku sunat saja dia sampai tidak ada yang tersisa. Jadi dia akan sibuk membelai barangnya yang hilang dari pada menebar berita lewat sosial media bahwa tarifku permalam adalah lima juta. Ryan menyerah mengikutiku ketika aku berhenti merespon omongannya.
Aku ke Perpustakaan dengan darah mendidih sampai bisa kurasakan asap keluar dari telingaku . Sesampainya di Perpustakaan, aku berhenti di ambang pintu. Melihat buku dan kardus-kardus bertumpuk-tumpuk berantakan membuat migrainku muncul. Tiba-tiba pikiran untuk bolos terasa begitu bagus untuk dilakukan, tapi sayangnya itu tidak akan terjadi .
"Apa ini? Cuci gudang?" tanyaku sambil melangkah masuk. Miss Shafa, penanggung jawab perpus mendongak dan tersenyum padaku. Jeha sedang mendata setiap buku bahkan tidak berpura-pura untuk menyadari kedatanganku. Dia tetap fokus pada tugas ditangannya.
"Buku baru datang," jawab Miss Shafa. "Yah tidak benar-benar baru sih. Koleksi-koleksi lama yang belum kita punya, sumbangan dari seseorang."
Aku melihat Gone With The Wind dengan cover lamanya di sebuah tumpukan. Akupun membungkuk untuk mengambilnya.
"Oh itu koleksi klasik. Semuanya terbitan pertama," ujar Miss Shafa dengan senyum bangga. Ada Anna Karenina dan beberapa karya Jane Austen juga di bawah Gone with the wind.
"Saya mau mengembalikan buku lebih dulu," kataku sambil meletakkan dua buku di atas konter. Miss Shafa meminta Jeha untuk mengurusnya dan aku bisa dengar dia menghela nafas tidak suka.
Dengan enggan , Jeha berjalan ke belakang konter dan mulai bekerja dengan komputer. Dia mengambil buku yang tadi kuletakkan , lalu memeriksa kartu perpus yang ada di dalamnya. Dia kemudian melirik padaku, "These are due a week ago."
"No shit , Sherlock," gumamku.
"Terre," tegur Miss Shafa.
Aku lupa kalau haram hukumnya bicara kasar atau mengumpat kalau Miss Shafa ada dalam jarak dengar. Wanita ayu berhijab yang rendah hati ini, selain penanggung jawab perpus juga merupakan salah satu pembina rokhis. Kenyataan bahwa ia sedang hamil membuatnya lebih sensitif dari Miss Shafa yang normal. Aku menggumankan kata maaf kemudian beralih kembalih ke Jeha.
"Berapa?" Aku merogoh dompet di dalam tas , siap membayar denda..
"16 ribu."
"Wha..!? Banyak sekali."
"Terlambat sehari, Rp.1000. Lo terlambat delapan hari dan meminjam dua buku. 1000 x 8= 8000x2= 16000, " ujarnya dengan suara datar tanpa jeda seperti Pak Ayub saat sedang membaca contekan teks pidato, dan mata tetap fokus pada layar komputer.
"Well Mr. Obvious, bisa ngga elo ngasih tahu sesuatu yang gue belum tahu?" kataku kesal. Aku hampir membentaknya kalau saja tidak ingat bahwa ada Miss Shafa.
Aku biasanya tidak pernah terlambat mengembalikan buku, bahkan biasanya lebih cepat. Jadi walau tidak begitu memberatkan, rasanya Rp. 16.000 terdengar sangat banyak.
"Gue menjawab apa yang lo ragukan." Lagi dengan nada datar yang sama. "Lagipula rasanya itu bukan jumlah yang banyak untuk tuan putri, " sindirnya.
Nah sekarang dia mulai mengolokku. Orang ini memang terlahir dengan sikap menyebalkan begini ya? Dia sudah bersikap menyebalkan begitu sejak pertama kali kami bersimpangan jalan ketika masih di masa-masa MOS. Sikap menyebalkannya itu terlihat sangat natural.
Aku menahan keinginanku untuk membentaknya, alih-alih aku cuma melototinya saja. Mengeluarkan satu lembar duapuluh ribuan dari dompet, aku kemudian meletakkannya dengan kasar di atas konter dan Jeha menjangkaunya sambil sekilas melirikku. Tapi aku malah menggunakan kesempatan itu untuk menjulurkan lidahku padanya. Sangat bodoh bukan? Jeha hanya memutar bola matanya menanggapi kebodohanku itu.
Bel berbunyi tepat ketika aku keluar dari perpustakaan. Sementara yang lain berlari seperti balapan siapa yang lebih dulu sampai di kelas, aku cuma berjalan santai. Pelajaran pertama olahraga dan hujan yang masih turun bisa dipastikan kami hanya akan 'hang out' di kelas. Oh mungkin aku bisa menggunakan waktu ini untuk tidur saja ya. Tapi pikiran itu langsung hancur ketika aku sampai di kelas dan mendapati teman segrup tariku berkumpul di mejaku. Sial!
Seperti sudah diberi aba-aba, mereka berlima serentak menoleh ke arahku. Dengan helaan nafas panjang, aku melangkahkan kakiku memasuki kelas menuju mejaku berada. Dan ketika aku sudah tepat berada di depan mereka, aku langsung dihujani dengan pertanyaan yang tentu saja ku abaikan.
"Move," kataku pada Tia yang duduk di kursiku.
Tia berdiri dan menyingkir dari kursiku walau matanya tetap tertuju pada majalah yang sedang dibacanya. Seperti biasa dia tidak bisa teralihkan kalau sedang membaca tentang Zodiak. Hidup Tia seperti bergantung pada apa yang tertulis di bintangnya, bisa dikatakan dia itu zodiak-freak. Oh dia juga percaya dongeng dan fairy tale. Menurutnya semua cewek di dunia adalah seorang putri yang sedang menunggu pangerannya dan semua cerita memiliki happy ending. Kalau belum happy berarti belum ending.
"Jadi, lo apakan fee yang lo dapat itu Re?" tanya Valerie sambil menyeringai, membuat yang lainnya tertawa.
So yeah, Valerie tidak menyukaiku, tidak akan pernah. Jadi aku tidak mengerti kenapa dia masih mau bicara dan bergaul denganku.
"Gue tabung buat operasi payudara nanti," jawabku santai. Luna yang duduk di sampingku berdehem untuk menyembunyikan tawanya. Sedangkan Val hanya mengibaskan rambutnya.
Semua orang di Foxes (grup tari kami) dan aku yakin sebagian murid di sekolah ini tahu kalau Val operasi hidung dan bibirnya. Dan dia selalu mengeluh soal ukuran payudaranya. Ada dugaan dia akan menanam silikon disana, jadi kalau tiba-tiba dadanya lebih menggelembung dari kemarin kami tidak akan kaget. Kendati hampir semua orang mengetahui tentang operasi plastiknya, Val tidak merasa malu atau minder, sebaliknya ia malah menggunakan itu untuk menyobongkan diri.
"Huh nggak usah nyolot gitu jawabnya. Toh bukan gue yang nyebarin rumor itu."
"Terus kenapa dengan Donny?" tanya Kathryna, the president of TLBs fansclub.
TLBs sendiri itu singkatan dari The Lost Boys, sebuah boyband idol yang menurut survey merupakan boyband paling hits dan artis dengan pendapatan tertinggi seIndonesia. Aku bahkan tidak mau tahu siapa saja yang disurvey.
"Setahu gue Donny ngga membosankan," lanjut Kath.
Membosankan. Itu alasan umum yang selalu kugunakan kenapa aku putus dengan si ini dan si itu. Kath kenal Donny dengan baik dan dia tidak menganggapnya membosankan, sebaliknya Kath berpendapat 'he's so lovely'. Lovely my granma?
"Yah lo kan ngerti soal basket dan menyukainya, ya iyalah lo ngga menganggap obrolan Don-key itu membosankan. Buat gue setiap kata yang keluar dari mulutnya itu seperti bahasa alien yang dicampur sama bahasa Kroasia."
"Serius deh . Nggak ada alasan lain selain alasan konyol itu ketika memutuskan seseorang? Lu nggak bisa putus dengan seseorang begitu aja hanya karena dia membosankan," ujar Nala. Dia satu-satunya orang yang menunjukkan dengan terang-terangan bahwa dia tidak suka dengan gaya hidup berpacaranku.
Kadang aku bertanya-tanya, apa tanpa sengaja aku pernah dekat dengan cowok yang ditaksirnya yah? Nala orang yang sulit dibaca, ekspresi wajahnya selalu pasif dan jarang tersenyum. Tapi  memang sekalinya dia bicara, kau biasa langsung tahu bagaimana karakternya atau apa yang dipikirkannya karena dia menyampaikannya dengan lugas , jelas, dan menohok.
"Oh okay. Bagaimana kalau yang ini? Moralnya moral banci dan ke-idiotannya bikin gue capek." Aku tidak bilang pada siapapun soal taruhan itu. Aku sudah dicap murahan dan aku lebih nyaman dengan label itu daripada dikasihani.
"Heard that one before," timpal Luna.
"Apa mau dikata, semua cowok yang gue pacari walaupun ganteng pasti plus plus negatifnya lebih banyak," kataku beralasan lalu menghela nafas. "Ngga adakah cowok pintar di sekolah ini yang ngga membosankan?"
"Ada." Val nampak antusias. Mencurigakan saja. Melihat wajah-wajah bingung penuh tanda tanya membuat Val tidak bisa menyimpan misterinya sendiri lebih lama. "Jeha! You know, the guy from the library."
"Ewww..." pekik Roanda si copycat. "Plis deh. Ramon bahkan lebih mending dari pada si muka masam itu."
"Ngaco! Si Ramon kan tukang ngiler. Lebih menjijikan."
"Setidaknya, Ramon lebih good looking."
"IQnya dibawah Ro," bisik Luna. Mau tidak mau aku tersenyum.
"Bagaimana Re? Lu belum pernah menggaet cowok jelek 'kan? Setidaknya Jeha sudah ketahuan pinternya," kata Val terlalu antusias dari yang kusukai.
Memang sih, si jelek itu pinter (dia juara satu dua tahun berturut-turut belum terkalahkan, dia juga maju ke olimpiade math waktu kelas 11). Tapi bagaimana mau PDKT, orang sikapnya padaku saja sinis dan antagonis.
"Dia ngga suka sama gue," ujarku beralasan. Aku benci kalau harus menyenangkan Val.
"Jeha nggak suka sama siapapun," kata Nala datar.
"Nah itu jadi lebih menantang," ujar Val bersemangat. "Bukankah orang yang ngga tertarik sama lu itu lebih lebih kecil kemungkinan kalau dia  membosankan? Lo ngerasa bosan'kan karena mantan-mantanmu tergila-gila sama lu." Ro mengangguk setuju.
Aku memperhatikan wajah Ro, Val dan Nala serta Kath. Kecuali Luna dan Tia, semuanya berekspresi sama. Aku tertawa. "Kalau kalian berpikir bakal memanfaatin gue untuk balas dendam pada Jeha, lupakan. Gue nggak mau."
Bell ganti pelajaran berbunyi, menelan segala apapun yang hampir terlontar dari mulut mereka. Kecuali Tia.
"Re, kata scorpio kamu akan bertemu dengan cinta dalam hidupmu minggu ini, " kata Tia dengan senyum lebar.
She's crazy.
***
Aku melepaskan tawa ketika sudah jauh dari kantor kepala sekolah. You see, it's not that difficult to face the principal. Beliau sangat mudah dimanipulasi. Kau hanya perlu tahu bagaimana bersikap di depannya. Bersikaplah tenang, rapuh, dan mata berkaca-kaca , maka dia hanya akan memberimu teguran.
Walau aku sedikit berlebihan menunjukan kesedihanku ketika menjelaskan situasi yang menjadi sumber rumor tersebut, aku tetap jujur apa adanya. Yah aku menambahkannya sedikit sih. Aku mengatakan bahwa aku menendang selangkangan Donkey, aku tidak mensensor kata-kataku sama sekalai. Dan aku tidak menyesal karena ekspresi wajah Pak Wandi ketika mendengarnya sangatlah priceless. Itulah penyebab aku tertawa sekarang. Bukan karna aku berhasil mengelabuhi PakWan. Aku tidak sejahat itu.
Entah dikutuk apa aku dan Jeha. Setiap kali bertemu selalu saja dengan cara bertabrakkan. Seperti sekarang.
"Sorry," kataku masih dalam kondisi goodmood dan senyum masih dibibirku.
"Sure," kata Jeha. Lalu langsung pergi ke arah ruang guru. Membiarkanku menatap punggungnya. What a broad back.
Terlintas usulan Val tadi pagi. Mungkin akan menyenangkan mengganggu cowok itu.
Aku mengambil busur dan anak panah khayalan dari punggungku, kemudian mengunci sasaranku. Berpose seolah sedang memanah -sampai diperhatikan orang disekitar- aku melepaskan anak panahku tepat di sana, di antara kedua tulang bahunya.
Jeha berhenti berjalan, menegakkan tubuhnya , lalu menoleh dengan dahi berkerut. Aku segera menurunkan tanganku dan memberinya senyum lalu segera berbalik badan pergi dari sana.
⇨⇨⇨
Fakta menarik tentang perpustakaan di sekolahku adalah itu merupakan perpus dengan koleksi paling lengkap dan dibuka untuk umum setiap sabtu-minggu sampai pukul 10 malam. Pengunjungnya kebanyakan para mahasiswa dan pasca sarjana. Biasanya aku akan datang pukul 18.30 untuk membaca dan meminjam buku untuk ku jadikan pembunuh kebosanan. Tapi hari ini aku tiba satu jam lebih awal karena merasa hampir meledak kalau terlalu lama di rumah.
Ketika aku masuk, Ayunda tersenyum dari belakang konter. Ayunda adalah adik dari Miss Shafa yang bertugas di Perpustakaan setiap akhir pekan. Pada akhir pekan yang menggantikan posisi Jeha biasanya kalau tidak Ilham ya Ruadi, anak kelas sepuluh yang kalau berpapasan denganku selalu menunduk. Awalnya aku mengira mereka suka padaku jadi malu-malu, tapi kemudian aku merasa mereka takut padaku. Tidak tahu mengapa.
"Tumben sore," kata Ayunda.
"Neraka sedang pindah ke rumahku," jawabku. Dia terkekeh.
Satu hal tentang Ayunda adalah dia mudah sekali tertawa. Berbeda dengan Miss. Shafa yang alim dan bersahaja, katanya Ayunda termasuk paling rebel dalam keluarganya.
"Diletakkan dimana Gone With The Wind dan Jane Austen yang datang kemarin?" tanyaku.
"Entahlah, gue nggak dikasih tahu. Coba tanya Jeha. Dia sedang menyusun buku ekonomi ," jawabnya sambil menunjuk.
Ah jadi the beast ada disini.
Aku menyerahkan tasku untuk disimpan di bawah konter sebelum mencari di mana Jeha berada . Aku menemukannya sedang berdiri di atas tangga, membereskan buku-buku di rak paling atas. Melihat kedua telinganya disumbat earphone, kecil kemungkinan dia akan mendengar jika ku panggil. Jadi kulakukan satu-satunya cara yang terpikirkan olehku. Menggoyang-goyangkan tangganya. Melihat ekspresinya yang kaget sekaligus takut me,buatku tertawa. I'm so mean, I know.
Jeha melotot kebawah padaku. "Kalau mau  membunuh gue setidaknya pakailah cara yang terhormat dan menandakan dirimu sendiri sebagai manusia berotak," desisnya.
Aku memutar bola mata. "Tidak ada yang namanya 'terhormat' dalam pambunuhan," kataku. Guess, itu semakin membuatnya kesal. "I'm sorry. Aku berusaha memanggilmu tapi telingamu tersumbat." Bohong.
"Lo bisa nyentuh kaki gue."
"Iya maaf. Tapi cara tadi yang langsung terlintas di kepalaku."
"Stupid chick," gumamnya.
Mungking dia kira aku tidak bisa mendengarnya, tapi yang dia tidak tahu adalah pendengaranku sangat tajam. Dan apa yang telah dikatakannya tidak bisa diterima. Aku menggoncang tangga lebih kuat dari sebelumnya, membuatnya langsung berpegang pada rak didepannya kemudian melotot lagi padaku.
"Lookie here, Yeti. Pertama , gue bukan ayam, jadi jangan nyebut gue chick. Kedua, mungkin lo ngga sadar karena terlalu fokus pada peringkat lo sendiri, tapi gue selalu hanya tertinggal beberapa poin di bawah lo," kataku kesal.
Jeha menuruni tangga. "Jangan khawatir. Lo bukan orang pertama yang membuktikan bahwa tingginya nilai akademik seseorang tidak otomatis membuat orang itu cerdas." Jeha pergi membawa tangga itu ke belakang. Tidak lama kemudian dia kembali.
Ini pertama kalinya aku melihat dia tidak memakai seragam. Hari ini dia memakai jeans hitam yang robek di beberapa bagian, kemeja lengan panjang namun dia gulung sampai siku, dan sneakers hitam yang nampak baru . Tapi tetap saja dia memakai wajah masam dan kaca mata besar yang lebih besar dari mangkuk.
"Kenapa lo benci banget sama gue?" Akhirnya aku menanyakan pertanyaan yang sudah mengusikku sejak lama.
Jeha melirikku sekilas. "Benci itu sebuah kata kuat yang memerlukan faktor kuat juga untuk menumbuhkannya. Sejauh ini sih lo belum menghasilkan suatu faktor kuat yang membuat gue benci sama lo," ujarnya.
"Okay. Mari ulangi," kataku sambil berpindah tempat, bersandar pada rak disamping Jeha berdiri dan memandang wajahnya. "Kenapa lo ngga suka sama gue? Bukan suka secara romantik, hanya secara umum."
Tanpa menoleh atau memandangku dia menjawab, "Perlu mengenal seseorang lebih baik untuk menumbuhkan rasa suka."
Aku tersenyum. "Mau mencoba mengenalku lebih baik?"
"Tidak tertarik," katanya sambil berbalik badan membelakangiku.
Reseh! Dia bahkan menjawab tanpa pura-pura mempertimbangkannya lebih dulu. Aku sudah tahu, berusaha membangun hubungan sosial dengan Jeha tidak akan mudah. Namun tetap saja reaksinya mengejutkanku.
"Bagaimana bisa bilang begitu kalau lo belum mencobanya?"
Jeha menghela nafas kesal lalu memandangku seperti sedang menyelidikiku. Aku melipat kedua lenganku di depan dada. Biasa dipandang para pria dengan pandangan nafsu , rasanya aneh dan tiba-tiba merasa cukup menarik ketika Jeha memandang menyelidikiku.
"Apa?"
"Kepala lo habis kejedot?" tanyanya.
"Rasanya ngga."
"Kalau begitu apa-apaan semua ini? Tiba-tiba tertarik bicara sama gue dan menanyakan hal-hal konyol."
"Ngga ada apa-apa. Gue cuma penasaran kenapa seseorang tertentu bisa benci, maksudku tidak suka sam gue."
"Dan kita semua tahu bahwa sebagian besar murid di sekolah ini ngga suka sama lo. Jadi kenapa cuma tanya sama gue?"
Dih! Orang ini tidak bisa melewatkan hal kecil yang tidak penting yah?
"Karena gue tahu kenapa mereka benci atau tidak suka sama gue. Sedangkan lo?" Aku menghendikan bahu. "Gue penasaran kenapa sikap lo sinis banget dan sangat anti sosial sama gue. Gue ngga pernah pacaran sam orang yang lo sukai." Aku menatapnya curiga. "Setidaknya sejauh yang gue tahu." Aku tersenyum jahil padanya .
"Well mungkin lo belum sadar, tapi gue bersikap anti sosial pada semua orang."
"Ngga juga. Lo bersikap sangat sopan dan friendly pada Melissa," sergahku mengingat kembali gambaran tiga hari lalu. Aku mendapati Jeha bersosialisasi layaknya manusia normal. Dia bahkan tersenyum.
"Karena gue udah lama mengenal Lis," jawabnya singkat.
"Gue temenan sama Mell. Jadi mungkin lo mau bersikap friendly ke gue karena kita bakal sering ketemu," uajarku.
Jeha memandangku tanpa ekspresi. Okay, bahkan untuk telingaku sendiri aku terdengar sangat memaksa untuk menjalin hubungan sosial dengannya.
"Baiklah tidak perlu friendly. Menyadari keberadaanku sudah cukup." Dan sekarang aku terdengar sangat desperate.
"Gue rasa ngga perlu. Karena Lis ngga menganggap lo teman," kata Jeha sambil menyeringai.
Sial! Dia benar. Mellisa tidak menganggapku teman, dia menganggapku saingan dalam mendapatkan perhatian Bona. Sudah berkali-kali dijelaskan bahwa aku dan Bona hanya sekedar sahabat baik, Mell tetap tidak mau percaya. Menurutnya Bona lebih sayang padaku dari pada kepadanya. Walau terkadang datang pula waktu dimana kami ngobrol atau cuma dia yang curhat nonstop, Mell tetap menolak mempredikatkan dirinya sebagai temanku. Dasar Nona manja pencemburu.
Jeha kembali melanjutkan pekerjaanya. "Kalau sudah selesai, silahkan pergi. Kalau lo tetap mengganggu, gue ngga bisa jamin kalau gue ngga akan mulai benci sama lo," kata Jeha tanpa melihatku.
Dih nih manusia tidak mengenal kata sopan dan pura-pura yah? Aku kerjain baru tahu rasa. "Jeha."
"Hm," gumamnya masih tidak melihatku.
"Jeha! Jeha! Jeha!"
Jeha menghentikan pekerjaannya, meremas buku yang di genggamnya kemudian menghirup dan menghembuskan nafas beberapa kali sebelum berbalik badan menghadapkan.
Oh boy, sepertinya aku membuatnya sangat kesal.
Aku berhasil mengejutkannya saat berbalik badan dan mendapati diriku tepat di depannya. Aku berdiri sangat dekat sampai sepatu kami saling beradu. Aku juga bisa mencium aroma tubuhnya, segar seperti dia baru saja keluar dari kamar mandi. Ugh! I hate that glasses!
"Ap-apa lagi?"
Yes! Aku membuatnya tergagap. Akhirnya reaksi yang biasa ku terima keluar juga dari mulutnya. Aku tersenyum dan tanpa memberi aba-aba, aku segera meraih kepalanya mendekat agar aku bisa menciumnya. Tubuhnya langsung kaku. Aku yakin aku memberinya banyak kecutan hari ini. Aku tersenyum dengan bibirku masih menempel padanya. Lima detik tanpa reaksi darinya, aku kemudian melepaskannya.
Dia menatapku tajam kemudian menoleh kanan dan kirinya sebelum matanya fokus kembali padaku. "Are you crazy? What was that for?!" bentaknya lirih.
Ah bukan kata-kata yang biasa keluar dari cowok yang baru saja menerima ciumanku. Ternyata bukan hanya aku yang memberinya kejutan, dia memberikan kejutan juga. Kita impas kalau begitu.
Aku mengangkat bahuku. "Just because," jawabku.
"Dasar cewek gila!" makinya sebelum pergi membawa pekerjaannya ke barisan rak buku yang lainnya. Aku sih tersenyum saja lalu mebasahi kedua bibirku. Itu bukan sebuah ciuman yang buruk, dia mengejutkanku lagi dengan mempunyai rasa bibir yang enak. Wine.
Aku memperhatikan Jeha yang masih nampak kesal dan melampiaskan itu pada pekerjaanya. Well, dia sudah tidak menyukaiku. Menambah kadarnya sedikit -okay, mungkin banyak- tidak akan menyakitkan.
091015