Sunday, May 29, 2016

Sebelum Selamanya - Space Invation

Seseorang merebut buku dari tanganku. Aku mendongak dan mendapati Ryan, dengan ekspresi muram di wajahnya, memandangku dengan bertanya-tanya.
Ryan adalah salah satu mantan yang masih berhubungan baik denganku. Dia typical cowok baik-baik idaman orang tua untuk dijadikan menantu. Mantan ketua OSIS, sangat baik, ramah, sopan dan penyayang. Aneh , justru itulah yang menjadi alasanku untuk putus dengannya. Padahal kalau yang lain pasti bersyukur yah punya pacar seperti dia.
Bukan apa-apa, tapi dia terlalu baik untukku. Dan aku bukan tipe cewek penggemar cowok baik-baik. Aku memberi pengertian itu padanya dan sejak itu kami jadi teman.
"Ryan, waddup?" sapaku sambil berusaha merebut kembali bukuku.
Ryan melepas headphone dari telinga kiriku. "I heard," katanya dengan dahi berkerut.
"So I read," balasku sambil merebut buku darinya kemudian berjalan melewatinya. Lima menit lagi bel akan berbunyi dan aku harus segera ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam dua minggu lalu.
Ryan mengikutiku. "Ada yang melaporkan lo ke Kepsek," ujarnya cemas dan itu membuatku berhenti. Aku memutar badan sampai menghadapnya.
"You're kidding," kataku tidak percaya.
"No," kata Ryan dengan pasti. "Kepsek mau ngomong sama lo pas istirahat nanti."
Hal lain tentang Ryan yang membuatku heran adalah entah kenapa dia selalu mengabariku berita yang tidak enak didengar, lalu dia begitu menyebalkan kalau overprotective-bigbrother sindromnya sedang kambuh.
Aku menggeram kesal. Aku mulai menyesal hanya mematahkan hidung Donni. Harusnya sekalian ku sunat saja dia sampai tidak ada yang tersisa. Jadi dia akan sibuk membelai barangnya yang hilang dari pada menebar berita lewat sosial media bahwa tarifku permalam adalah lima juta. Ryan menyerah mengikutiku ketika aku berhenti merespon omongannya.
Aku ke Perpustakaan dengan darah mendidih sampai bisa kurasakan asap keluar dari telingaku . Sesampainya di Perpustakaan, aku berhenti di ambang pintu. Melihat buku dan kardus-kardus bertumpuk-tumpuk berantakan membuat migrainku muncul. Tiba-tiba pikiran untuk bolos terasa begitu bagus untuk dilakukan, tapi sayangnya itu tidak akan terjadi .
"Apa ini? Cuci gudang?" tanyaku sambil melangkah masuk. Miss Shafa, penanggung jawab perpus mendongak dan tersenyum padaku. Jeha sedang mendata setiap buku bahkan tidak berpura-pura untuk menyadari kedatanganku. Dia tetap fokus pada tugas ditangannya.
"Buku baru datang," jawab Miss Shafa. "Yah tidak benar-benar baru sih. Koleksi-koleksi lama yang belum kita punya, sumbangan dari seseorang."
Aku melihat Gone With The Wind dengan cover lamanya di sebuah tumpukan. Akupun membungkuk untuk mengambilnya.
"Oh itu koleksi klasik. Semuanya terbitan pertama," ujar Miss Shafa dengan senyum bangga. Ada Anna Karenina dan beberapa karya Jane Austen juga di bawah Gone with the wind.
"Saya mau mengembalikan buku lebih dulu," kataku sambil meletakkan dua buku di atas konter. Miss Shafa meminta Jeha untuk mengurusnya dan aku bisa dengar dia menghela nafas tidak suka.
Dengan enggan , Jeha berjalan ke belakang konter dan mulai bekerja dengan komputer. Dia mengambil buku yang tadi kuletakkan , lalu memeriksa kartu perpus yang ada di dalamnya. Dia kemudian melirik padaku, "These are due a week ago."
"No shit , Sherlock," gumamku.
"Terre," tegur Miss Shafa.
Aku lupa kalau haram hukumnya bicara kasar atau mengumpat kalau Miss Shafa ada dalam jarak dengar. Wanita ayu berhijab yang rendah hati ini, selain penanggung jawab perpus juga merupakan salah satu pembina rokhis. Kenyataan bahwa ia sedang hamil membuatnya lebih sensitif dari Miss Shafa yang normal. Aku menggumankan kata maaf kemudian beralih kembalih ke Jeha.
"Berapa?" Aku merogoh dompet di dalam tas , siap membayar denda..
"16 ribu."
"Wha..!? Banyak sekali."
"Terlambat sehari, Rp.1000. Lo terlambat delapan hari dan meminjam dua buku. 1000 x 8= 8000x2= 16000, " ujarnya dengan suara datar tanpa jeda seperti Pak Ayub saat sedang membaca contekan teks pidato, dan mata tetap fokus pada layar komputer.
"Well Mr. Obvious, bisa ngga elo ngasih tahu sesuatu yang gue belum tahu?" kataku kesal. Aku hampir membentaknya kalau saja tidak ingat bahwa ada Miss Shafa.
Aku biasanya tidak pernah terlambat mengembalikan buku, bahkan biasanya lebih cepat. Jadi walau tidak begitu memberatkan, rasanya Rp. 16.000 terdengar sangat banyak.
"Gue menjawab apa yang lo ragukan." Lagi dengan nada datar yang sama. "Lagipula rasanya itu bukan jumlah yang banyak untuk tuan putri, " sindirnya.
Nah sekarang dia mulai mengolokku. Orang ini memang terlahir dengan sikap menyebalkan begini ya? Dia sudah bersikap menyebalkan begitu sejak pertama kali kami bersimpangan jalan ketika masih di masa-masa MOS. Sikap menyebalkannya itu terlihat sangat natural.
Aku menahan keinginanku untuk membentaknya, alih-alih aku cuma melototinya saja. Mengeluarkan satu lembar duapuluh ribuan dari dompet, aku kemudian meletakkannya dengan kasar di atas konter dan Jeha menjangkaunya sambil sekilas melirikku. Tapi aku malah menggunakan kesempatan itu untuk menjulurkan lidahku padanya. Sangat bodoh bukan? Jeha hanya memutar bola matanya menanggapi kebodohanku itu.
Bel berbunyi tepat ketika aku keluar dari perpustakaan. Sementara yang lain berlari seperti balapan siapa yang lebih dulu sampai di kelas, aku cuma berjalan santai. Pelajaran pertama olahraga dan hujan yang masih turun bisa dipastikan kami hanya akan 'hang out' di kelas. Oh mungkin aku bisa menggunakan waktu ini untuk tidur saja ya. Tapi pikiran itu langsung hancur ketika aku sampai di kelas dan mendapati teman segrup tariku berkumpul di mejaku. Sial!
Seperti sudah diberi aba-aba, mereka berlima serentak menoleh ke arahku. Dengan helaan nafas panjang, aku melangkahkan kakiku memasuki kelas menuju mejaku berada. Dan ketika aku sudah tepat berada di depan mereka, aku langsung dihujani dengan pertanyaan yang tentu saja ku abaikan.
"Move," kataku pada Tia yang duduk di kursiku.
Tia berdiri dan menyingkir dari kursiku walau matanya tetap tertuju pada majalah yang sedang dibacanya. Seperti biasa dia tidak bisa teralihkan kalau sedang membaca tentang Zodiak. Hidup Tia seperti bergantung pada apa yang tertulis di bintangnya, bisa dikatakan dia itu zodiak-freak. Oh dia juga percaya dongeng dan fairy tale. Menurutnya semua cewek di dunia adalah seorang putri yang sedang menunggu pangerannya dan semua cerita memiliki happy ending. Kalau belum happy berarti belum ending.
"Jadi, lo apakan fee yang lo dapat itu Re?" tanya Valerie sambil menyeringai, membuat yang lainnya tertawa.
So yeah, Valerie tidak menyukaiku, tidak akan pernah. Jadi aku tidak mengerti kenapa dia masih mau bicara dan bergaul denganku.
"Gue tabung buat operasi payudara nanti," jawabku santai. Luna yang duduk di sampingku berdehem untuk menyembunyikan tawanya. Sedangkan Val hanya mengibaskan rambutnya.
Semua orang di Foxes (grup tari kami) dan aku yakin sebagian murid di sekolah ini tahu kalau Val operasi hidung dan bibirnya. Dan dia selalu mengeluh soal ukuran payudaranya. Ada dugaan dia akan menanam silikon disana, jadi kalau tiba-tiba dadanya lebih menggelembung dari kemarin kami tidak akan kaget. Kendati hampir semua orang mengetahui tentang operasi plastiknya, Val tidak merasa malu atau minder, sebaliknya ia malah menggunakan itu untuk menyobongkan diri.
"Huh nggak usah nyolot gitu jawabnya. Toh bukan gue yang nyebarin rumor itu."
"Terus kenapa dengan Donny?" tanya Kathryna, the president of TLBs fansclub.
TLBs sendiri itu singkatan dari The Lost Boys, sebuah boyband idol yang menurut survey merupakan boyband paling hits dan artis dengan pendapatan tertinggi seIndonesia. Aku bahkan tidak mau tahu siapa saja yang disurvey.
"Setahu gue Donny ngga membosankan," lanjut Kath.
Membosankan. Itu alasan umum yang selalu kugunakan kenapa aku putus dengan si ini dan si itu. Kath kenal Donny dengan baik dan dia tidak menganggapnya membosankan, sebaliknya Kath berpendapat 'he's so lovely'. Lovely my granma?
"Yah lo kan ngerti soal basket dan menyukainya, ya iyalah lo ngga menganggap obrolan Don-key itu membosankan. Buat gue setiap kata yang keluar dari mulutnya itu seperti bahasa alien yang dicampur sama bahasa Kroasia."
"Serius deh . Nggak ada alasan lain selain alasan konyol itu ketika memutuskan seseorang? Lu nggak bisa putus dengan seseorang begitu aja hanya karena dia membosankan," ujar Nala. Dia satu-satunya orang yang menunjukkan dengan terang-terangan bahwa dia tidak suka dengan gaya hidup berpacaranku.
Kadang aku bertanya-tanya, apa tanpa sengaja aku pernah dekat dengan cowok yang ditaksirnya yah? Nala orang yang sulit dibaca, ekspresi wajahnya selalu pasif dan jarang tersenyum. Tapi  memang sekalinya dia bicara, kau biasa langsung tahu bagaimana karakternya atau apa yang dipikirkannya karena dia menyampaikannya dengan lugas , jelas, dan menohok.
"Oh okay. Bagaimana kalau yang ini? Moralnya moral banci dan ke-idiotannya bikin gue capek." Aku tidak bilang pada siapapun soal taruhan itu. Aku sudah dicap murahan dan aku lebih nyaman dengan label itu daripada dikasihani.
"Heard that one before," timpal Luna.
"Apa mau dikata, semua cowok yang gue pacari walaupun ganteng pasti plus plus negatifnya lebih banyak," kataku beralasan lalu menghela nafas. "Ngga adakah cowok pintar di sekolah ini yang ngga membosankan?"
"Ada." Val nampak antusias. Mencurigakan saja. Melihat wajah-wajah bingung penuh tanda tanya membuat Val tidak bisa menyimpan misterinya sendiri lebih lama. "Jeha! You know, the guy from the library."
"Ewww..." pekik Roanda si copycat. "Plis deh. Ramon bahkan lebih mending dari pada si muka masam itu."
"Ngaco! Si Ramon kan tukang ngiler. Lebih menjijikan."
"Setidaknya, Ramon lebih good looking."
"IQnya dibawah Ro," bisik Luna. Mau tidak mau aku tersenyum.
"Bagaimana Re? Lu belum pernah menggaet cowok jelek 'kan? Setidaknya Jeha sudah ketahuan pinternya," kata Val terlalu antusias dari yang kusukai.
Memang sih, si jelek itu pinter (dia juara satu dua tahun berturut-turut belum terkalahkan, dia juga maju ke olimpiade math waktu kelas 11). Tapi bagaimana mau PDKT, orang sikapnya padaku saja sinis dan antagonis.
"Dia ngga suka sama gue," ujarku beralasan. Aku benci kalau harus menyenangkan Val.
"Jeha nggak suka sama siapapun," kata Nala datar.
"Nah itu jadi lebih menantang," ujar Val bersemangat. "Bukankah orang yang ngga tertarik sama lu itu lebih lebih kecil kemungkinan kalau dia  membosankan? Lo ngerasa bosan'kan karena mantan-mantanmu tergila-gila sama lu." Ro mengangguk setuju.
Aku memperhatikan wajah Ro, Val dan Nala serta Kath. Kecuali Luna dan Tia, semuanya berekspresi sama. Aku tertawa. "Kalau kalian berpikir bakal memanfaatin gue untuk balas dendam pada Jeha, lupakan. Gue nggak mau."
Bell ganti pelajaran berbunyi, menelan segala apapun yang hampir terlontar dari mulut mereka. Kecuali Tia.
"Re, kata scorpio kamu akan bertemu dengan cinta dalam hidupmu minggu ini, " kata Tia dengan senyum lebar.
She's crazy.
***
Aku melepaskan tawa ketika sudah jauh dari kantor kepala sekolah. You see, it's not that difficult to face the principal. Beliau sangat mudah dimanipulasi. Kau hanya perlu tahu bagaimana bersikap di depannya. Bersikaplah tenang, rapuh, dan mata berkaca-kaca , maka dia hanya akan memberimu teguran.
Walau aku sedikit berlebihan menunjukan kesedihanku ketika menjelaskan situasi yang menjadi sumber rumor tersebut, aku tetap jujur apa adanya. Yah aku menambahkannya sedikit sih. Aku mengatakan bahwa aku menendang selangkangan Donkey, aku tidak mensensor kata-kataku sama sekalai. Dan aku tidak menyesal karena ekspresi wajah Pak Wandi ketika mendengarnya sangatlah priceless. Itulah penyebab aku tertawa sekarang. Bukan karna aku berhasil mengelabuhi PakWan. Aku tidak sejahat itu.
Entah dikutuk apa aku dan Jeha. Setiap kali bertemu selalu saja dengan cara bertabrakkan. Seperti sekarang.
"Sorry," kataku masih dalam kondisi goodmood dan senyum masih dibibirku.
"Sure," kata Jeha. Lalu langsung pergi ke arah ruang guru. Membiarkanku menatap punggungnya. What a broad back.
Terlintas usulan Val tadi pagi. Mungkin akan menyenangkan mengganggu cowok itu.
Aku mengambil busur dan anak panah khayalan dari punggungku, kemudian mengunci sasaranku. Berpose seolah sedang memanah -sampai diperhatikan orang disekitar- aku melepaskan anak panahku tepat di sana, di antara kedua tulang bahunya.
Jeha berhenti berjalan, menegakkan tubuhnya , lalu menoleh dengan dahi berkerut. Aku segera menurunkan tanganku dan memberinya senyum lalu segera berbalik badan pergi dari sana.
⇨⇨⇨
Fakta menarik tentang perpustakaan di sekolahku adalah itu merupakan perpus dengan koleksi paling lengkap dan dibuka untuk umum setiap sabtu-minggu sampai pukul 10 malam. Pengunjungnya kebanyakan para mahasiswa dan pasca sarjana. Biasanya aku akan datang pukul 18.30 untuk membaca dan meminjam buku untuk ku jadikan pembunuh kebosanan. Tapi hari ini aku tiba satu jam lebih awal karena merasa hampir meledak kalau terlalu lama di rumah.
Ketika aku masuk, Ayunda tersenyum dari belakang konter. Ayunda adalah adik dari Miss Shafa yang bertugas di Perpustakaan setiap akhir pekan. Pada akhir pekan yang menggantikan posisi Jeha biasanya kalau tidak Ilham ya Ruadi, anak kelas sepuluh yang kalau berpapasan denganku selalu menunduk. Awalnya aku mengira mereka suka padaku jadi malu-malu, tapi kemudian aku merasa mereka takut padaku. Tidak tahu mengapa.
"Tumben sore," kata Ayunda.
"Neraka sedang pindah ke rumahku," jawabku. Dia terkekeh.
Satu hal tentang Ayunda adalah dia mudah sekali tertawa. Berbeda dengan Miss. Shafa yang alim dan bersahaja, katanya Ayunda termasuk paling rebel dalam keluarganya.
"Diletakkan dimana Gone With The Wind dan Jane Austen yang datang kemarin?" tanyaku.
"Entahlah, gue nggak dikasih tahu. Coba tanya Jeha. Dia sedang menyusun buku ekonomi ," jawabnya sambil menunjuk.
Ah jadi the beast ada disini.
Aku menyerahkan tasku untuk disimpan di bawah konter sebelum mencari di mana Jeha berada . Aku menemukannya sedang berdiri di atas tangga, membereskan buku-buku di rak paling atas. Melihat kedua telinganya disumbat earphone, kecil kemungkinan dia akan mendengar jika ku panggil. Jadi kulakukan satu-satunya cara yang terpikirkan olehku. Menggoyang-goyangkan tangganya. Melihat ekspresinya yang kaget sekaligus takut me,buatku tertawa. I'm so mean, I know.
Jeha melotot kebawah padaku. "Kalau mau  membunuh gue setidaknya pakailah cara yang terhormat dan menandakan dirimu sendiri sebagai manusia berotak," desisnya.
Aku memutar bola mata. "Tidak ada yang namanya 'terhormat' dalam pambunuhan," kataku. Guess, itu semakin membuatnya kesal. "I'm sorry. Aku berusaha memanggilmu tapi telingamu tersumbat." Bohong.
"Lo bisa nyentuh kaki gue."
"Iya maaf. Tapi cara tadi yang langsung terlintas di kepalaku."
"Stupid chick," gumamnya.
Mungking dia kira aku tidak bisa mendengarnya, tapi yang dia tidak tahu adalah pendengaranku sangat tajam. Dan apa yang telah dikatakannya tidak bisa diterima. Aku menggoncang tangga lebih kuat dari sebelumnya, membuatnya langsung berpegang pada rak didepannya kemudian melotot lagi padaku.
"Lookie here, Yeti. Pertama , gue bukan ayam, jadi jangan nyebut gue chick. Kedua, mungkin lo ngga sadar karena terlalu fokus pada peringkat lo sendiri, tapi gue selalu hanya tertinggal beberapa poin di bawah lo," kataku kesal.
Jeha menuruni tangga. "Jangan khawatir. Lo bukan orang pertama yang membuktikan bahwa tingginya nilai akademik seseorang tidak otomatis membuat orang itu cerdas." Jeha pergi membawa tangga itu ke belakang. Tidak lama kemudian dia kembali.
Ini pertama kalinya aku melihat dia tidak memakai seragam. Hari ini dia memakai jeans hitam yang robek di beberapa bagian, kemeja lengan panjang namun dia gulung sampai siku, dan sneakers hitam yang nampak baru . Tapi tetap saja dia memakai wajah masam dan kaca mata besar yang lebih besar dari mangkuk.
"Kenapa lo benci banget sama gue?" Akhirnya aku menanyakan pertanyaan yang sudah mengusikku sejak lama.
Jeha melirikku sekilas. "Benci itu sebuah kata kuat yang memerlukan faktor kuat juga untuk menumbuhkannya. Sejauh ini sih lo belum menghasilkan suatu faktor kuat yang membuat gue benci sama lo," ujarnya.
"Okay. Mari ulangi," kataku sambil berpindah tempat, bersandar pada rak disamping Jeha berdiri dan memandang wajahnya. "Kenapa lo ngga suka sama gue? Bukan suka secara romantik, hanya secara umum."
Tanpa menoleh atau memandangku dia menjawab, "Perlu mengenal seseorang lebih baik untuk menumbuhkan rasa suka."
Aku tersenyum. "Mau mencoba mengenalku lebih baik?"
"Tidak tertarik," katanya sambil berbalik badan membelakangiku.
Reseh! Dia bahkan menjawab tanpa pura-pura mempertimbangkannya lebih dulu. Aku sudah tahu, berusaha membangun hubungan sosial dengan Jeha tidak akan mudah. Namun tetap saja reaksinya mengejutkanku.
"Bagaimana bisa bilang begitu kalau lo belum mencobanya?"
Jeha menghela nafas kesal lalu memandangku seperti sedang menyelidikiku. Aku melipat kedua lenganku di depan dada. Biasa dipandang para pria dengan pandangan nafsu , rasanya aneh dan tiba-tiba merasa cukup menarik ketika Jeha memandang menyelidikiku.
"Apa?"
"Kepala lo habis kejedot?" tanyanya.
"Rasanya ngga."
"Kalau begitu apa-apaan semua ini? Tiba-tiba tertarik bicara sama gue dan menanyakan hal-hal konyol."
"Ngga ada apa-apa. Gue cuma penasaran kenapa seseorang tertentu bisa benci, maksudku tidak suka sam gue."
"Dan kita semua tahu bahwa sebagian besar murid di sekolah ini ngga suka sama lo. Jadi kenapa cuma tanya sama gue?"
Dih! Orang ini tidak bisa melewatkan hal kecil yang tidak penting yah?
"Karena gue tahu kenapa mereka benci atau tidak suka sama gue. Sedangkan lo?" Aku menghendikan bahu. "Gue penasaran kenapa sikap lo sinis banget dan sangat anti sosial sama gue. Gue ngga pernah pacaran sam orang yang lo sukai." Aku menatapnya curiga. "Setidaknya sejauh yang gue tahu." Aku tersenyum jahil padanya .
"Well mungkin lo belum sadar, tapi gue bersikap anti sosial pada semua orang."
"Ngga juga. Lo bersikap sangat sopan dan friendly pada Melissa," sergahku mengingat kembali gambaran tiga hari lalu. Aku mendapati Jeha bersosialisasi layaknya manusia normal. Dia bahkan tersenyum.
"Karena gue udah lama mengenal Lis," jawabnya singkat.
"Gue temenan sama Mell. Jadi mungkin lo mau bersikap friendly ke gue karena kita bakal sering ketemu," uajarku.
Jeha memandangku tanpa ekspresi. Okay, bahkan untuk telingaku sendiri aku terdengar sangat memaksa untuk menjalin hubungan sosial dengannya.
"Baiklah tidak perlu friendly. Menyadari keberadaanku sudah cukup." Dan sekarang aku terdengar sangat desperate.
"Gue rasa ngga perlu. Karena Lis ngga menganggap lo teman," kata Jeha sambil menyeringai.
Sial! Dia benar. Mellisa tidak menganggapku teman, dia menganggapku saingan dalam mendapatkan perhatian Bona. Sudah berkali-kali dijelaskan bahwa aku dan Bona hanya sekedar sahabat baik, Mell tetap tidak mau percaya. Menurutnya Bona lebih sayang padaku dari pada kepadanya. Walau terkadang datang pula waktu dimana kami ngobrol atau cuma dia yang curhat nonstop, Mell tetap menolak mempredikatkan dirinya sebagai temanku. Dasar Nona manja pencemburu.
Jeha kembali melanjutkan pekerjaanya. "Kalau sudah selesai, silahkan pergi. Kalau lo tetap mengganggu, gue ngga bisa jamin kalau gue ngga akan mulai benci sama lo," kata Jeha tanpa melihatku.
Dih nih manusia tidak mengenal kata sopan dan pura-pura yah? Aku kerjain baru tahu rasa. "Jeha."
"Hm," gumamnya masih tidak melihatku.
"Jeha! Jeha! Jeha!"
Jeha menghentikan pekerjaannya, meremas buku yang di genggamnya kemudian menghirup dan menghembuskan nafas beberapa kali sebelum berbalik badan menghadapkan.
Oh boy, sepertinya aku membuatnya sangat kesal.
Aku berhasil mengejutkannya saat berbalik badan dan mendapati diriku tepat di depannya. Aku berdiri sangat dekat sampai sepatu kami saling beradu. Aku juga bisa mencium aroma tubuhnya, segar seperti dia baru saja keluar dari kamar mandi. Ugh! I hate that glasses!
"Ap-apa lagi?"
Yes! Aku membuatnya tergagap. Akhirnya reaksi yang biasa ku terima keluar juga dari mulutnya. Aku tersenyum dan tanpa memberi aba-aba, aku segera meraih kepalanya mendekat agar aku bisa menciumnya. Tubuhnya langsung kaku. Aku yakin aku memberinya banyak kecutan hari ini. Aku tersenyum dengan bibirku masih menempel padanya. Lima detik tanpa reaksi darinya, aku kemudian melepaskannya.
Dia menatapku tajam kemudian menoleh kanan dan kirinya sebelum matanya fokus kembali padaku. "Are you crazy? What was that for?!" bentaknya lirih.
Ah bukan kata-kata yang biasa keluar dari cowok yang baru saja menerima ciumanku. Ternyata bukan hanya aku yang memberinya kejutan, dia memberikan kejutan juga. Kita impas kalau begitu.
Aku mengangkat bahuku. "Just because," jawabku.
"Dasar cewek gila!" makinya sebelum pergi membawa pekerjaannya ke barisan rak buku yang lainnya. Aku sih tersenyum saja lalu mebasahi kedua bibirku. Itu bukan sebuah ciuman yang buruk, dia mengejutkanku lagi dengan mempunyai rasa bibir yang enak. Wine.
Aku memperhatikan Jeha yang masih nampak kesal dan melampiaskan itu pada pekerjaanya. Well, dia sudah tidak menyukaiku. Menambah kadarnya sedikit -okay, mungkin banyak- tidak akan menyakitkan.
091015

No comments:

Post a Comment